Ranah Minang dengan Rumah Gadangnya memang identik. Di sini, bahkan ada Nagari Saribu Rumah Gadang yang masih asli dan otentik. Bikin kangen kampung halaman.
Saya benci dengan perjalanan darat yang melelahkan ini, saya benci karena saya harus takjub dengan keindangan alam yang menawa sepanjang perjalanan dari Sungai Rumbai - Muara Laboh, lintas propinsi Riau yang penuh dengan hutan sawit dan membuat saya sedih karena hutannya habis ditebang.
Tapi rasa benci itu berubah menjadi senang dan bahagia ketika melihat hutan-hutan belantara di perbukitan Bukit Barisan Selatan yang masuk propinsi Sumatera Barat masih sangat alami dan terawat dengan baik.
Awan-awan kecil menutupi sebagian besar puncak Bukit Barisan yang memanjang bak naga raksasa. Sementara gunung Kerinci berdiri dengan megah dan memberikan secerca harapan bagi para penduduk yang mulai beraktifitas pagi.
Sungai yang lebar dengan batu-batu kali bertebaran, lereng bukit yang masih hijau, udara segar yang tiada terkira, lanskap pedesaan khas Minang dengan kerbau yang berkeliaran dan sedang asyik makan rumput liar yang tunbuh subur. Penduduk yang sedang menjemur gabah kering disisi jalan serta anak sekolah yang sedang bermain menjadi pemandangan tersendiri.
Gemuruh air terjun di sisi jembatan yang curam sungguh menawan, kelokan tajam siap menyambut sepanjang perjalanan, sungguh sebuah perjalanan yang sangat indah dan penuh rasa bersyukur kepada Tuhan YME atas nikmat yang tiada duanya ini.
Hingga tibalah kami di sebuah gapura kecil berwarna kuning dengan tulisan "Nagari Seribu Gadang". Mobil mini van kami lantas memasuki jalan kecil yang kanan kiri dipenuhi dengan rumah-rumah gadang yang sudah berumur ratusan tahun dan masih banyak yang terawat dengan baik.
Inilah kawasan perkampungan Minang kuno dengan ratusan rumah gadang berjejer rapi dan sangat artistik sekali. Sehingga lokasi ini kerap dijadikan lokasi syuting beberapa film dan sinetron. Dimulai ketika Ibu Mutia Hatta yang waktu tahun 2008 bertugas sebagai menteri pemberdayaan perempuan berkunjung kedesa adat ini dan memberi julukan nagari seribu rumah gadang.
Ada 174 rumah gadang yang mewakili setiap suku yang ada dibumi Minang yaitu suku Malayu, Bariang, Durian, Kampai, Panai, Tigo Lareh, Koto Kaciak, dan Sikumbang. Setiap suku mempunyai rumah gadang tersendiri dan mewakili keberagaman yang ada serta toleransi masa lampau yang masih terjaga hingga detik ini.
Keunikan dari kawasan desa adat Minang kuno ini yaitu banyaknya rumah gadang yang berumur lebih dari 100 tahun dan bahkan sudah ada yg dibangun sejak tahun 1700 yaitu rumah gadang Gajah Maram yang dibangun dari tahun 1794.
Rumah gadang ini milik kaum suku Melayu Buah Anau oleh Datuk Lelo Panjang. Hingga kini masih aktif digunakan untuk keperluan sehari-hari, cuma masih difungsikan ketika ada upacara adat seperti pengangkatan datuk, musyawarah pemangku adat, pernikahan atau kematian.
Dan sebagian besar keluarga Minang yang tinggal di rumah gadang ini masih menyimpan pusaka lelehur misalkan tongkat raja, perlengkapan kamar pengantin, tikar anyam yang usianya sudah ratusan tahun serta menyimpan kisah mistis. Tetapi kini beberapa bangunan bisa digunakan sebagai homestay dengan harga terjangkau.
Apabila para pelancong atau wisatawan asing ingin menjadi urang minang, bisa menginap rumah gadang yang menjadi homestay. Tinggallah 1 atau 2 malam dan nikmati keindahan alam yang tiada taranya di kawasan ini. Ada jembatan gantung yang menghubungkan desa ini dengan sungai yang masih sangat asri.
Ah, saya jadi rindu ingin kembali dan menikmati malam di perkampungan adat kuno ini. Sebenarnya kalau ada waktu, saya bisa menginap 1 malam di homestay dengan harga Rp 200k/night dan sudah termasuk breakfast dan dinner dengan menu khas Minang.
Sedih rasanya ketika kami harus melanjutkan ke kota Padang yang ditempuh selama 3 jam dari desa adat ini. Ingin kembali dan entah kapan lagi bisa berkunjung. Insya Allah apabila diberikan umur yang panjang, bisa membawa keluarga menikmati suasana di kota Muara Laboh yang nan asri ini dengan 1.000 rumah gadangnya.
Komentar
Tulis komentar