Tripcle / Infos / Detail Tripcle

Bukan Jepang Kalau Tidak Terobsesi Dengan Kertas

https://travel.detik.com/read/2020/03/04/181920/4931847/1520/jepang-yang-terobsesi-dengan-kertas
Bukan Jepang Kalau Tidak Terobsesi Dengan Kertas
Foto: (iStock)

Tokyo - Negeri Sakura memiliki banyak hal menarik untuk diulas. Selain gila kebersihan, Jepang juga terobsesi dengan kertas. Sebagai negara maju, Jepang pernah mengalami masa-masa kelam sekitar tahun 1600-an. Saat itu Jepang mengisolasikan diri dengan kebijakan Sakoku atau negara tertutup.

Jepang membatasi diri dengan perdagangan. Akibat kebijakan ini, akses menuju kemajuan teknologi dirasa sangat sulit, seperti yang diintip detikcom dari BBC, Senin (9/3/2020).

"Bahkan hal-hal seperti kaca tidak tersedia bagi masyarakat. Kurangnya kekuatan industri memaksa orang Jepang untuk memanfaatkan apa yang ada," ujar Kiyoshi Takagi, seorang perajin kertas washi.

Ya, Jepang menggunakan teknik tradisional dalam pembuatan kertas. Jepang begitu bangga dengan teknik pembuatan kertasnya. Segala aspek kebutuhan hidup masyarakat dibalut dengan washi.

Saat itu washi digunakan sebagai lentera, payung, pakaian dan pintu geser shoji serta dinding. Kertas washi memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan yang lain. Washi lebih tipis dan tidak mudah robek.

Ini mengapa uang kertas Jepang juga terbuat dari washi. Bahan pembuatan kertas adalah bubur kertas dan serat rami yang dihaluskan. Kertas ini disebut dengan washi.

Jepang yang Terobsesi dengan Kertas

Foto: (Thinkstock)

Karena perjalanan panjangnya, washi akhirnya dinobatkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan. Salah satu yang populer dari penggunaan washi adalah seni melipat kertas atau origami.

Namun sedikitnya ketersediaan washi membuat harga kertas ini mahal di pasaran. Perajin washi juga semakin sedikit, isu global warming semakin memanas.

Di era yang modern ini, penggunaan kertas juga sudah diminimalisir. Namun hubungan cinta antara orang Jepang dan kertas masih terus berlanjut.

Dalam dunia bisnis contohnya, bertukar kartu nama jadi ritual yang wajib dilakukan. Banyak negara yang mulai untuk melakukan transaksi online tanpa uang cash, Jepang pun salah satunya.

Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah Jepang untuk mengajak generasi tua ke era digital. Nyatanya lebih dari tiga perempat transaksi yang dilakukan oleh orang Jepang berupa uang tunai.

Baru-baru ini, pemerintah Jepang menawarkan potongan pajak penjualan jika pembeli melakukan transaksi dengan digital. Tetap saja, orang Jepang masih sulit untuk melepas kecintaannya pada transaksi tunai.

Belum lagi tradisi faks yang masih banyak digunakan oleh orang Jepang. Ribetnya administrasi perusahaan membuat orang Jepang terbiasa untuk melakukan berbagai perjanjian di atas kertas.

"Masyarakat Jepang tertinggal karena kamu memiliki banyak dokumen," kata Masayuki Ogata, Chief Operating Officer dari perusahaan Freee.

Karena obsesinya dengan kertas, orang Jepang memiliki kebiasaan menggunakan perangko pribadi. Perangko ini ditandai untuk tanda keaslian dokumen pribadi dan disebut hanko.Menurut Yusaku Sato, seorang pembuat perangko legendaris, setiap orang jepang memiliki setidaknya satu hanko. Tiap masuk ke perusahaan baru, orang tersebut wajib untuk membuat hanko yang baru.

"Dulu bisnis hanko sangat laris. Tapi sekarang pemerintah sudah mendorong masyarakat ke era digital. Sehingga bisnis ini kian redup," aku Sato.

Sato menyayangkan langkah digital pemerintah karena menurut Sato hanko adalah karya seni yang dapat dimiliki semua orang.

Sebuah bank terkemuka di Jepang pun berusaha untuk menyingkirkan kebiasaan lama memakai kertas. Perusahaan ini membuat robot pemindai yang dapat mendigitalisasikan dokumen.

Dari pengakuan perusahaan robot, Ripcord, dikatakan terdapat banyak sekali kertas di bank tersebut. Saking banyaknya, kertas-kertas tersebut berukuran tiga kali lipat dari Gunung Fuji.

Tak terbayang betapa gemarnya orang Jepang menggunakan kertas. Detail kegiatan per hari ditulis dengan rapih dalam buku jurnal.

Untuk menyiasati era digital, orang-orang Jepang menggunakan buku jurnal berukuran saku. Buku ini memiliki kertas yang sangat tipis dengan 400 halaman. Sehingga bisa digunakan untuk satu tahun.

Supaya terlihat digital, warga Jepang akan memposting buku jurnal berserta kegiatannya ke dalam media sosial. Namun intinya, mereka tetap tak bisa lepas dari obsesinya pada kertas.

Berita wisata dan travel terkait

Lihat juga berita travel lainnya

Saipan, Si Cantik dari Samudera Pasifik

Ini Desa Wisata Jepang, Tapi Rasa Indonesia

Patung Wanita Penghibur Membuat Hubungan Jepang-Korea Memanas

Tips Asyik Traveling ke Jepang Sambil Nonton Balapan F1 di Sirkuit Suzuka

Wow! Hotel Mewah Ini Tawarkan Onsen dengan View Runway Bandara Haneda

Turis di Jepang Dibuat Penasaran Sama 'Topan Super'

Mengunjungi Akihabara, Surganya Otaku Berburu Action Figure dan Produk Anime

Sungai di Kyoto Berubah Warna Merah Darah

Komentar

No results found.

Tulis komentar

Math, for example, 45-12 = 33

Berita trending

Tips wisata dan travel